Sejarah dan Makanan Khas BLITAR
Sejarah Blitar
Sejarah berdirinya BLITAR bumi bung Karno
Sebagai putra asli blitar maka tidak salah apabila saya menyajikan
informasi sejarah berdirinya BLITAR. setelah searching di mbah google
maka saya menemukan berbagai macam link yang menuju website tersebut.
salah satu hasilnya adalah artikel berikut ini.simak aja deh.
A. Letak Geografis
Image
Kondisi Alam yang Subur
Blitar, baik kota maupun kabupaten, terletak di kaki Gunung Kelud, Jawa
Timur. Daerah Blitar selalu terkena lahar Gunung Kelud yang sudah
meletus puluhan kali terhitung sejak tahun 1331
. Lapisan-lapisan tanah vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya merupakan hasil pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu. Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah vulkanik, mengandung abu letusan gunung berapi, pasir, dan napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut regosol yang dapat dimanfaatkan untuk menanam padi, tebu, tembakau, dan sayur mayur. Selain hijaunya persawahan yang kini mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi tembakau. Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, jagung, dan jati. Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi Jawa Timur. Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan tanah. Jalur Strategis Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri, dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas. Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909. Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai. Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Meski di Blitar sendiri sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan belasan prasasti dan candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang penting. Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan runtuh silih berganti, Blitar selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar terdapat setidaknya 12 buah candi. Keberadaan Gunung Kelud yang sejak zaman purba rutin memuntahkan abu vulkanik dan aliran Sungai Brantas yang melintasi Blitar dari timur ke Barat seperti menjadi berkah alam yang membuat Blitar sudah amat lama memiliki masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang cukup tinggi. Salah satu bukti menunjukkan Blitar sudah muncul sejak abad 10. Bukti itu berbentuk prasasti yang terpahat di belakang arca Ganesha. Prasasti itu menyebutkan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah. Prasasti itu kira-kira dibuat pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi. B. Asal Nama Blitar Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian Kitab Negarakertagama Pendapat yang mengatakan bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton. Kitab Pararaton Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa bala tentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor… langsung menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar. Candi Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, di masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi). Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penataran di sini dapat diartikan sebagai candi pusat. C. Hari Jadi Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat. Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini. Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya. Pada masa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, wilayah Blitar relatif tidak banyak disentuh. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (dimulai dari Demak hingga era Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta) kebanyakan memang berada di wilayah Jawa Tengah. Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membangun kota-kota menyusul doktrin Pax Neerlandica yang dilansir van Heutzs, Blitar juga ikut dikembangkan sebagai kota modern yang memungkinkan untuk dihuni oleh orang-orang Eropa. Pada 1 April 1906, pemerintah melansir beleid yang menetapkan Blitar sebagai gemeente (kotamadya). Pada 1928, status Blitar bahkan ditingkatkan sebagai Kota Karesidenan Blitar berdasar StaatbladNomor 497. Semasa pendudukan Jepang, status Blitar kembali berubah. Istilah "Gemeente Blitar" akhirnya diganti menjadi "Blitar Shi". Sehingga pada Tanggal 1 April itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kota Blitar setiap tahunnya D. Lambang Pemerintahan Selama pemerntahan kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an menggunakan lambang yang agak berbeda dari biasanya. Awalmulanya diadopsi dari lambang candi Penataran, yaitu sebuah komplek candi yang telah terkubur berkali-kali oleh material letusan gunung kelud yang jaraknya begitu dekat. Lambang tersebut dipilih juga sebagai symbol dari kebangkitan kota Blitar. dewan juga mengabungkannya dengan sebuah dinding bermahkota dan dua singa sebagai penyokong dengan moto “Labor Improbus Omnia Vincit” (berjuang memenangkan semuanya) Image Literatur: Rühl, 1933; Koffie Hag albums, 1920 Sekitar kurang lebih tahun 1934, Angkatan bersenjata Kerajaan Belanda tidak setuju dengan desain tersebut dan akhirnya lambang yang disetujui adalah seperti gambar dibawah ini. Sekarang candi dan gunung dipisahkan dan dinding bermahkota tsb digantikan dengan mahkota seperti yang ada di seluruh kota-kota jajahan Belanda bagian asia pada waktu itu. Image Berikut ini adalah lambang pemerintah Kabupaten dan Kota Blitar sekarang ini Image Image sumber: Wikipedia
. Lapisan-lapisan tanah vulkanik yang banyak ditemukan di Blitar pada hakikatnya merupakan hasil pembekuan lahar Gunung Kelud yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu. Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah vulkanik, mengandung abu letusan gunung berapi, pasir, dan napal (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut regosol yang dapat dimanfaatkan untuk menanam padi, tebu, tembakau, dan sayur mayur. Selain hijaunya persawahan yang kini mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman tembakau di daerah ini. Tembakau ini mulai ditanam sejak Belanda berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan ekonomi Blitar pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi tembakau. Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis grumusol. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, jagung, dan jati. Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang kedua di Jawa Timur setelah Bengawan Solo (sebagian mengalir di wilayah Jawa Tengah). Sungai ini memegang peranan penting dalam sejarah politik maupun sosial Provinsi Jawa Timur. Sungai yang berhulu di Gunung Arjuno ini turut membawa unsur-unsur utama dari dataran tinggi aluvial di Malang yang bersifat masam sehingga menghasilkan unsur garam yang berguna bagi kesuburan tanah. Jalur Strategis Tiga daerah subur, yaitu Malang, Kediri, dan Mojokerto, seakan-akan "diciptakan" oleh Sungai Brantas sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori natural seats of power yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun 1919. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di Jawa Timur, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas. Jika saat ini Kediri dan Malang dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui Mojosari, Ngantang, atau Blitar, maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui Mojosari atau Blitar jika ingin bepergian ke Kediri atau Malang. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati Ngantang masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909. Jalur utara yang melintasi Mojosari sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar Jayakatwang yang telah susah payah mengejar Raden Wijaya pada tahun 1292 gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi Blitar lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai. Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Meski di Blitar sendiri sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan belasan prasasti dan candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang penting. Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan runtuh silih berganti, Blitar selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar terdapat setidaknya 12 buah candi. Keberadaan Gunung Kelud yang sejak zaman purba rutin memuntahkan abu vulkanik dan aliran Sungai Brantas yang melintasi Blitar dari timur ke Barat seperti menjadi berkah alam yang membuat Blitar sudah amat lama memiliki masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang cukup tinggi. Salah satu bukti menunjukkan Blitar sudah muncul sejak abad 10. Bukti itu berbentuk prasasti yang terpahat di belakang arca Ganesha. Prasasti itu menyebutkan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah. Prasasti itu kira-kira dibuat pada tahun 829 Saka atau 907 Masehi. B. Asal Nama Blitar Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya. Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian Kitab Negarakertagama Pendapat yang mengatakan bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antara Dhoho dengan Tumapel dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa Raja Airlangga meminta Empu Bharada untuk membagi Kerajaan Kediri menjadi dua, yaitu Panjalu dan Jenggala. Empu Bharada menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya Kali Lekso). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton. Kitab Pararaton Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa bala tentara Daha yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara (Mojosari). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring Singosari pisan yang berarti dari tepi Aksa menuju Lawor… langsung menuju Singosari. Nama atau kata Aksa yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso. Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh De Jonge) yang mengatakan bahwa ...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah Malang dan di sebelah baratnya adalah wilayah Blitar. Candi Oleh karena letaknya yang strategis, Blitar penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, di masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero Blitar. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah Candi Penataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok. Menurut riwayatnya, Candi Penataran dahulu merupakan candi negara atau candi utama kerajaan. Pembangunan Candi Penataran dimulai ketika Raja Kertajaya mempersembahkan sima untuk memuja sira paduka bhatara palah yang berangka tahun Saka 1119 (1197 Masehi). Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di Bali juga disebut dengan penataran, misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata natar berarti pusat, sehingga Candi Penataran di sini dapat diartikan sebagai candi pusat. C. Hari Jadi Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat. Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini. Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya. Pada masa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, wilayah Blitar relatif tidak banyak disentuh. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (dimulai dari Demak hingga era Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta) kebanyakan memang berada di wilayah Jawa Tengah. Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membangun kota-kota menyusul doktrin Pax Neerlandica yang dilansir van Heutzs, Blitar juga ikut dikembangkan sebagai kota modern yang memungkinkan untuk dihuni oleh orang-orang Eropa. Pada 1 April 1906, pemerintah melansir beleid yang menetapkan Blitar sebagai gemeente (kotamadya). Pada 1928, status Blitar bahkan ditingkatkan sebagai Kota Karesidenan Blitar berdasar StaatbladNomor 497. Semasa pendudukan Jepang, status Blitar kembali berubah. Istilah "Gemeente Blitar" akhirnya diganti menjadi "Blitar Shi". Sehingga pada Tanggal 1 April itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kota Blitar setiap tahunnya D. Lambang Pemerintahan Selama pemerntahan kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an menggunakan lambang yang agak berbeda dari biasanya. Awalmulanya diadopsi dari lambang candi Penataran, yaitu sebuah komplek candi yang telah terkubur berkali-kali oleh material letusan gunung kelud yang jaraknya begitu dekat. Lambang tersebut dipilih juga sebagai symbol dari kebangkitan kota Blitar. dewan juga mengabungkannya dengan sebuah dinding bermahkota dan dua singa sebagai penyokong dengan moto “Labor Improbus Omnia Vincit” (berjuang memenangkan semuanya) Image Literatur: Rühl, 1933; Koffie Hag albums, 1920 Sekitar kurang lebih tahun 1934, Angkatan bersenjata Kerajaan Belanda tidak setuju dengan desain tersebut dan akhirnya lambang yang disetujui adalah seperti gambar dibawah ini. Sekarang candi dan gunung dipisahkan dan dinding bermahkota tsb digantikan dengan mahkota seperti yang ada di seluruh kota-kota jajahan Belanda bagian asia pada waktu itu. Image Berikut ini adalah lambang pemerintah Kabupaten dan Kota Blitar sekarang ini Image Image sumber: Wikipedia
Makanan Khas BLITAR
Asslamu'alaikum wr.wb. Hahaha siapa sih yang ngga tau
Blitar, lagu tadi sedikit menggambarkan kota blitar, banyak banget hal-hal yang
menarik di Blitar, mulai dari tempat wisata, kuliner, dan bahan kerajinan khas
dari Blitar, nah readers kali kita membahas kuliner khas Kota blitar yuk!! Capcuss..
>>
Blitar mempunyai berbagai macam wisata
kuliner berikut 7 kuliner khas kota blitar yang wajib untuk dicoba, kalau datang
ke kota Blitar :
1.
Wajik
Kletik
Jajanan ini terbuat dari gula kelapa, beras ketan dan kulit jagung untuk
mengemasnya, supaya nggak cepet basi dan higienis nih readers, kulit jagung ini
disetrika terlebih dulu dan dikemas dalam rentengan sejumlah 5 buah.
Proses pembuatannya cukup sederhana, masak gula kelapa dan kelapa
di atas api sedang hingga gula larut dan mengental. Setelah itu, masukkan beras
ketan, aduk-aduk hingga mengental.
Namun, sesuai perkembangan zaman, banyak produsen wajik kletik yang memvariasi
bentuk pembungkusan dan rasa wajik kletik. Cara membuat wajik kletik ini cukup
sederhana, masak gula kelapa dan kelapa di atas api sedang hingga gula larut
dan mengental. Setelah itu masukkan beras ketan dan di aduk hingga mengental.
Wajik
kletik bikinan Blitar ini sangat menonjolkan ke-khasan rasa yang tidak anda
temukan pada wajik kletik yang berasal dari daerah selain Blitar. Rasanya
kletik-kletik, manis dan kasar di lidah. Keterpaduan rasa yang ada dalam wajik
kletik ini menambah kenikmatanya.
2.
Nasi
Pecel
Sedikit berbeda dengan pecel khas Malang, tekstur bumbu kacang pecel
Blitar lebih halus, sedikit lebih berminyak, dan bercita rasa manis dan gurih. Bahan
utama dari sambal pecel adalah kacang tanah sangrai
dan cabai rawit yang
dicampur dan ditumbuk dengan bahan lainnya seperti kencur, daun jeruk purut, bawang putih, asam jawa, gula merah,
dan garam.
Pecel sering juga dihidangkan dengan tempe goreng, rempeyek kacang,
rempeyek ebi,
rempeyek kedelai.
Bumbunya
yg sangat terasa gurih, pedas dengan gilingan bahan yang cukup halus membuat
tiap bahan yang tercampur menciptakan cita rasa yang tinggi. Sambel pecel
dibuat dari perpaduan kacang tanah, gula kelapa, rempah-rempah dan bumbu
rahasia serta daun jeruknya yang membuat rasanya semakin nikmat.
3. Belimbing Karangsari
Desa
Karangsari, Kecamatan Sukorejo merupakan desa wisata yang terkenal dengan
belimbingnya. Berbeda dengan belimbing pada umumnya, belimbing Karangsari
memiliki keistimewaan dari segi ukuran, warna dan tentu saja rasa. Belimbing
Karangsari memiliki ukuran yang lebih besar dari belimbing biasa, dengan warna
kuning kemerahan yang mencolok dan rasa yang dominan manis. Belimbing
Karangsari selalu menjadi agenda yang akan dicari sebagai oleh-oleh saat
wisatawan berkunjung ke Blitar.
4. Peyek uceng
Uceng adalah ikan air
tawar, biasanya hidup di sungai yang airnya jernih dan mengalir deras. Ikan ini
bentuknya bentuknya bulat dan memanjang kira2 sebesar jari kelingking, tidak
bersisik dan terdapat garis-garis vertikal hitam di badannya. Cara membuat iwak
peyek ini, aduk rata tepungberas, tepung sagu, santan, daun jeruk dan uceng. Tuang adonan di pinggir
wajan dan setengah lagi ada di dalam minyak. Rasanya gurih dan renyah banget.
5. Rujak Cingur
5. Rujak Cingur
Rujak cingur adalah salah satu
makanan tradisional yang mudah ditemukan di daerah Jawa Timur. Dalambahasa Jawa kata cingur berarti
"mulut", hal ini merujuk pada bahan irisan mulut atau moncong sapi yang
direbus dan dicampurkan ke dalam hidangan.
Rujak cingur biasanya terdiri dari irisan beberapa jenis buah seperti timun, kerahi, bengkuang, mangga muda, nanas, kedondong, kemudianditambah lontong, tahu, tempe, cingur, serta sayuran seperti kecambah/taoge,kangkung, dan kacang panjang. Semua bahan tadi
dicampur dengan saus atau bumbu yang terbuat dari olahan petis udang, air matang untuk sedikit mengencerkan, gula/gula merah, cabai, kacang tanah yang
digoreng, bawang goreng, garam, dan irisan tipis pisang biji hijau yang masih muda (pisang klutuk). Semua saus/bumbu dicampur dengan cara diulek, itu sebabnya rujak cingur juga sering disebut rujak ulek.
Rasanya yang manis dan gurih
dengan potongan cingur membuat rasanya semakin nikmat.
6. Geti
Geti
merupakan salah satu makanan khas kab Blitar yang terbuat dari kacang,
wijen, dan gula merah. Geti biasanya disuguhkan sebagai jajanan khas di
Tulungagung pada hari raya atau pernikahan untuk menyambut para tamu.
Geti
memiliki cita rasa khas yang berbeda dengan produk lain dan memiliki nilai gizi
yang tinggi. Usaha ini sangat menguntungkan bagi masyarakat luas, terutama
masyarakat di kab blitar. Bisnis
geti merupakan salah satu alternatif peluang bisnis yang sangat bagus. Selain
rasanya yang khas, geti juga bisa dijadikan sebagai wisata kuliner yang tahan
lama dan bisa dibawa ke mana saja. Geti biasanya disuguhkan sebagai jajanan
khas di kab Blitar pada hari raya atau pernikahan untuk menyambut para tamu.
7.
Es
mini
Es mini memang cocok untuk
dinikmati di siang hari setelah jalan-jalan ke tempat wisata yang ada di
Blitar. Sesuai dengan namanya, rumah makan yang satu memang terkenal dengan es
mininya. Meskipun disebut-sebut sebagai es mini, tapi kalau dilihat porsinya
cukup besar, kalau pun dinikmati setelah makan pasti akan membuat kita semakin
kekenyangan.
Es ini terdiri dari ±15 jenis bahan dan buah-buahan yang ditata di dalam
mangkuk ukuran sedang, kemudian ditambah dengan es serut dan kucuran susu
kental manis cokelat. Untuk menikmatinya, kita harus mengaduknya terlebih
dahulu agar esnya agak mencair. Sedangkan untuk bahan dan buah-buahannya
sendiri ada alpukat, melon, nanas, kelengkeng, semangka, apel, durian,
kolang-kaling, durian dan lain sebagainya. Dari semua bahan isian es mini,
hanya ada satu bahan yang membuat Saya sedikit heran, yaitu ada penambahan
tomat di dalamnya.
Nah, gimana readers tentang ulasan
seputar makanan khas Blitar kali ini? Kalau berkunjung ke Kota Blitar jangan lupa
incip-incip ya! Sekian dulu ya readers
udah cape’ nih ngetik mulu’ dari tadi, hehehe.. Assalamualaikum . .
Sumber : http://lodoyoistimewa.blogspot.com/p/blog-page.html
http://putrablitar.blogspot.com/2009/04/sejarah-berdirinya-blitar-bumi-bung.html
Tanggal 13 Agustus 2014 pukul 16.46
Sumber : http://lodoyoistimewa.blogspot.com/p/blog-page.html
http://putrablitar.blogspot.com/2009/04/sejarah-berdirinya-blitar-bumi-bung.html
Tanggal 13 Agustus 2014 pukul 16.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar